Rabu, 17 Juni 2015

PEREKONOMIAN INDONESIA ( INDUSTRIALISASI DAN NERACA PEMBAYARAN DAN TINGKAT KETERGANTUNGAN MODAL ASING )

TUGAS SOFTSKILL
PEREKONOMIAN INDONESIA




Description: C:\Users\LENOVO\Downloads\th (2).jpg





DISUSUN OLEH :

RIMA MUTIARA RIZQIA
( 29214409 )
1EB33





PROGRAM STUDI PEREKONOMIAN INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG
2015

A.  INDUSTRIALISASI

1.     Konsep Dan Tujuan Industrialisasi
Industri adalah bidang matapencaharian yang menggunakan ketrampilan dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi dan distribusinya sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya dan politik.
Awal konsep industrialisasi revolusi industry abad 18 di Inggris adalah dalam pemintalan dan produksi kapas yang menciptakan spesialisasi produksi.selanjutnya penemuan baru pada pengolahan besi dan mesin uap sehingga mendorong inovasi baja,dan begitu seterusnya,inovasi-inovasi bar uterus bermunculan.industri merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi.
Tujuan industrialisasi itu sendiri adalah untuk memajukan sumber daya alam yang dimiliki oleh setiap Negara,dengan didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas,dengan industrialisasi ini maka,Negara berkembanga yang mampu memanfaatkannya dengan baik,maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Negara tersebut.

2.Faktor-faktor Pendorong Industrialisasi

Faktor-faktor pendorong industrialisasi itu sendiri adalah :
a.kemampuan teknologi dan inovasi
b.laju pertumbuhan pendapatan nasional per-kapita
c.kondisi dan struktur awal ekonomi dalam negeri
d.besar pangsa pasar DN yang ditentukan tingkat pendapatan dan jumlah penduduk
e.ciri industrialisasi yaitu cara pelaksanaan industrialisasi seperti tahap implementasi
f.keberasaan SDA(sumber daya alam)
g.kebijakan atau strategi pemerintah


3.Perkembangan Sektor Industri Manufaktur Indonesia
Perkembangan industry manufaktur disetiap Negara juga dapat digunakan untuk melihat perkembangan industry Negara itu secara nasional,sejak krisis ekonomi dunia pada tahun 1998 dan perontokan perekonomian nasional ,perkembangan industry di Indonesiasecara nasional belum memperlihatkan perkembangan yang memuaskan.bahkan perkembangan industry nasional ,khususnya industry manufaktur ,lebih sering merosot perkembangannya dibandingkan dengan grafik peningkatannya
Sebuah hasil riset yang dilakukan pada tahun 2006,oleh sebuah lembaga internasional terhadap prospek industry manufaktur di berbagai Negara melihatkan hadil yang cukup memprihatinkan.dari 60 negara yang menjadi obyek penelitian,posisi industry manufaktur Indonesia berada diposisi terbawah bersama beberapa Negara asia seperti Vietnam,riset yang meneliti aspek daya saing produk industry manufaktur Indonesia dipasar global,menempatkan pada posisi terendah.

3.Permasalahan Industrialisasi

Kendala bagi pertumbuhan industri di dalam negeri adalah ketergantungan terhadap bahan baku serta komponen impor. Mesin-mesin produksi yang sudah tua juga menjadi hambatan bagi peningkatan produktivitas dan efisiensi.
Permasalahan-permasalahan tersebut telah menurunkan daya saing industri dalam negeri. Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasinya. Responsnya adalah dibuat Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri.
Namun, fakta di lapangan jauh dari harapan. Regulasi pemerintah pusat tak seiring dengan regulasi pemerintah daerah. Bahkan, di antara kementerian teknis bukan kebijakan sendiri-sendiri.Tahun 2010-2014, Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri nonmigas 8,95 persen dan kontribusi industri pengolahan terhadap produk domestik bruto 24,67 persen. Ditargetkan total investasi 2010-2014 mencapai Rp 735,9 triliun.
Untuk mencapai target itu, Kementerian Perindustrian membuat kerangka pembangunan industri nasional. Kerangka itu yang akan menjadi acuan untuk membangkitkan industri agar siap menghadapi perdagangan bebas dan ASEAN Economic Community.
Agar siap menghadapi itu semua, menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton Supit, peningkatan daya saing menjadi kunci utama. Leadership, mulai dari presiden hingga pejabat pemerintah lainnya, yang mau mengenakan produk dalam negeri juga tidak boleh diabaikan.








4.Strategi Pembangunan Sektor Industri


Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2VL_-3uqSYGqCuzyCqTQSNfajv5vzjLpMuDZD48wFdr_PnWgmuO6-FFDy8QFfo2UAhemATgJSh9TLmCzN7nJyJzzkw7Yf6nOVCNvrLdQX1sgIVhEUiGPypKD3yGAB-klrCkPW0m1-u3dY/s1600/Pembangunan+Industri.jpg


Strategi pembangunan sektor industri, dibagi menjadi dua yaitu : strategi pokok dan strategi operasional.

       a.    Strategi Pokok
              -      Memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri termasuk kegiatan dari industri pendukung(supporting industries), industri terkait (related industries), industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang lainnya. Keterkaitan ini dikembangkan sebagai upaya untuk membangun jaringan industri (networking) dan meningkatkan daya saing yang mendorong inovasi ;
              -      Meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun kompetensi inti ;
              -      Meningkatkan produktivitas, efisiensi dan jenis sumber daya yang digunakan dalam industri, dan memfokuskan pada penggunaan sumber-sumber daya terbarukan (green product);
              -      Pengembangan Industri Kecil dan Menengah melalui (a) skema pencadangan usaha serta bimbingan teknis dan manajemen serta pemberian fasilitas khusus agar dapat tumbuh secara ekspansif dan andal bersaing dibidangnya. (b) mendorong sinergi IKM dengan industri besar melalui pola kemitraan (aliansi), dan (c) membangun lingkungan usaha IKM yang menunjang.

       b.    Strategi Operasional
              1)    Pengembangan Lingkungan Bisnis yang nyaman dan kondusif
                     •      Bekerjasama dengan instansi terkait untuk mengembangkan Prasarana dan Sarana fisik di daerah-daerah yang prospek industrinya potensial ditumbuhkan, antara lain jalan, jembatan, pelabuhan, jaringan tenaga listrik, bahan bakar, jasa angkutan, pergudangan, telekomunikasi, air bersih.
                     •      Mendorong pengembangan SDM Industri, khususnya di bidang Teknik Produksi dan Manajemen Bisnis.
                     •      Mendorong pengembangan usaha jasa prasarana & sarana bisnis penunjang industri, antara lain Kawasan Industri, Jasa R & D, Jasa Pengujian Mutu, Jasa Rekayasa/Rancang bangun dan Konstruksi, Jasa Inspeksi Teknis, Jasa Audit, Jasa Konsultansi Industri, Jasa Pemeliharaan & Perbaikan, Jasa Pengamanan/Security, Jasa Pengolahan/Pembuangan Limbah, Jasa Kalibrasi, dan sebagainya.
                     •      Mengembangkan kebijakan sistem insentif yang efektif, edukatif, selektif, dan atraktif.
                     •      Menyempurnakan instrumen hukum untuk pengaturan kehidupan industri yang kondusif, yang memenuhi kriteria :
                            o     Lebih menjamin kepastian usaha/kepastian hukum, termasuk penegakan hukum yang konsisten
                            o     Aturan-main berusaha yang jelas dan tidak menyulitkan
                            o     Mengurangi sekecil mungkin intervensi pemerintah terhadap pasar
                            o     Menghormati kebebasan usaha pelaku industri
                            o     Kejelasan hak dan kewajiban pelaku industri
                            o     Terjaminnya dan tidak terganggunya kepentingan publik, termasuk gangguan keselamatan, kesehatan, nilai budaya dan kelestarian lingkungan hidup.
                     •      Sinkronisasi kebijakan sektor terkait, seperti kebijakan bidang Investasi dan sektor Perdagangan.
                     •      Aparat Pembina yang bersih, profesional, dan pro-bisnis dalam membina dan memberikan pelayanan fasilitatif kepada dunia usaha, melalui ketentuan administratif yang sederhana/mudah, dapat mencegah kecurangan dan manipulasi yang merugikan negara dan masyarakat, dengan dampak beban yang tidak memberatkan pelaku industri (administrative compliance costyang minimal).



 2)    Fokus pengembangan industri dilakukan dengan mendorong pertumbuhan klaster industri prioritas
Penentuan industri prioritas, dilakukan melalui analisis daya saing internasional serta pertimbangan besarnya potensi Indonesia yang dapat digunakan dalam rangka menumbuhkan industri. Dalam jangka panjang pengembangan industri diarahkan pada penguatan, pendalaman dan penumbuhan klaster pada kelompok industri : 1) Industri Agro; 2) Industri Alat Angkut; 3) Industri Telematika; 4) Basis Industri Manufaktur; dan 5) Industri Kecil dan Menengah Tertentu.
Berdasarkan permasalahan mendesak1 yang dihadapi; fokus pembangunan industri pada jangka menengah (2004-2009) adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1) Industri makanan dan minuman; 2) Industri pengolahan hasil laut; 3) Industri tekstil dan produk tekstil; 4) Industri alas kaki; 5) Industri kelapa sawit; 6) Industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); 7) Industri karet dan barang karet; 8) Industri Pulp dan kertas; 9) Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan 10) Industri petrokimia.
Pengembangan 10 klaster industri inti tersebut, secara komprehensif dan integratif, ditunjang industri terkait (related industries) dan industri pendukung (supporting industries).


1 Permasalahan mendesak yang dihadapi saat ini yaitu penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, pengolahan hasil pertanian dalam arti luas dan sumber daya alam negeri, dan memiliki potensi pengembangan ekspor yang tinggi.

2)    Fokus pengembangan industri dilakukan dengan mendorong pertumbuhan klaster industri prioritas

Penentuan industri prioritas, dilakukan melalui analisis daya saing internasional serta pertimbangan besarnya potensi Indonesia yang dapat digunakan dalam rangka menumbuhkan industri. Dalam jangka panjang pengembangan industri diarahkan pada penguatan, pendalaman dan penumbuhan klaster pada kelompok industri : 1) Industri Agro; 2) Industri Alat Angkut; 3) Industri Telematika; 4) Basis Industri Manufaktur; dan 5) Industri Kecil dan Menengah Tertentu.

Berdasarkan permasalahan mendesak1 yang dihadapi; fokus pembangunan industri pada jangka menengah (2004-2009) adalah penguatan dan penumbuhan klaster-klaster industri inti, yaitu : 1) Industri makanan dan minuman; 2) Industri pengolahan hasil laut; 3) Industri tekstil dan produk tekstil; 4) Industri alas kaki; 5) Industri kelapa sawit; 6) Industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu); 7) Industri karet dan barang karet; 8) Industri Pulp dan kertas; 9) Industri mesin listrik dan peralatan listrik; dan 10) Industri petrokimia.

Pengembangan 10 klaster industri inti tersebut, secara komprehensif dan integratif, ditunjang industri terkait (related industries) dan industri pendukung (supporting industries).








3)    Penetapan prioritas persebaran 

Pembangunan industri ke daerah-daerah mendekati sumber bahan baku agar efisien yang kegiatan industrinya belum banyak berkembang, di daerah luar Pulau Jawa khususnya di Kawasan Timur Indonesia dan daerah perbatasan(prioritas eco-regional).

 4)    Pengembangan kemampuan inovasi khususnya di bidang Teknologi Industri dan manajeme

Antara lain melalui kegiatan Penelitian dan Pengembangan Industri (R&D), baik di bidang teknologi proses maupun teknologi produk, serta teknologi yang terkait erat dengan kegiatan industri (design, engineering, plant construction, equipment fabrication).
                                              

5.     Data Statistik PDB berdasarkan sektor dan peran sektor industri

Data statistik PDB tahun-tahun mutahir sektor pertanian
Sektor pertanian

Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional salah satunya dapat ditelusuri melalui share pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data Badan Pusat Statistik dapat diketahui bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap GDP pada posisi akhir tahun dari tahun 2002 sampai dengan 2006 secara rata-rata sebesar 14,28%. Sedangkan pada posisi akhir 2007 kontribusinya naik menjadi 13,83%. Berikut ini adalah tabel sektor pertanian


Description: [Gambar+Kredit+1+REVISI2.JPG]

Sampai saat ini belum ada skim kredit pertanian yang benar-benar sesuai untuk kebutuhan petani dalam kegiatan produksi dan distribusi pertanian dan berkembang menjadi skim kredit andalan bagi bank. Apalagi petani yang umumnya petani kecil membutuhkan pembiayaan atau kredit bukan hanya untuk pertanian, akan tetapi juga untuk non pertanian, konsumsi dan tujuan lainnya.
Sedangkan dari sisi perbankan, praktek kredit umumnya memakai pola pinjaman yang mahal dan tidak sesuai dengan usaha mikro kecil, sehingga petani mengalami kesulitan untuk mengakses kredit formal. Persoalan project appaisalyang terlalu mahal untuk petani, tidak dimillikinya sistem pencatatan usaha, serta ketiadaan jaminan atau agunan material menjadi persoalan yang membuat bank komersil selalu berada di luar arena pelayanan kredit petani kecil. 

SP3 sebesar Rp 1 triliun

Mulai tahun 2006 pemerintah mengeluarkan skim kredit dan pembiayaan baru yang dinamakan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi kendala akses yang diakibatkan tidak adanya kemampuan petani/kelompok tani/gabungan kelompok tani menyiapkan agunan yang dipersyaratkan oleh perbankan. Prinsip dasar rancangan skim ini adalah untuk mengatasi kesulitan petani kecil menyediakan agunan (collateral) guna menumbuhkan usaha petani/peternak yang berbasis masyarakat pedesaan.
Akan tetapi kenyataan di lapang, bahwa skim pelayanan pembiayaan pertanian (SP3) yang dialokasikan Deptan senilai total Rp 1 triliun tersebut, sejak September 2006 hingga Oktober 2007, tenyata baru tersalurkan 30,8% atau hanya Rp 308 miliar (Sukur, 2007). Berikut adalah realisasi penyaluran dana SP3 per akhir Oktober 2007, berdasarkan bank penyalur dan skala kreditnya.

 Description: [Gambar+SP3+2.bmp]

Identifikasi permasalahan dan pendekatan teoritis

Dari hasil identifikasi penyebab rendahnya respon petani, maka didapat tiga permasalahan pokok pelaksanaan SP3 yaitu : Persyaratan agunan, plafon dan bunga pinjaman, serta kesiapan pihak perbankan. Jika dilakukan pendekatan teoritis menggunakan teori pasar kredit untuk menjelaskan permasalahan pokok tersebut, maka didapat hasil sebagai berikut:

Pendekatan Informasi Asimetrik

1.      SP3 tidak membebaskan calon debitur dari kewajiban menyiapkan agunan material. Contohnya debitur yang mengajukan pembiayaan mikro sebesar Rp. 50 juta, maka debitur masih harus menyediakan 60% dari nilai agunan yang dipersyaratkan bank, sedangkan sisanya, ditanggung pemerintah.Dampaknya petani yang tidak dapat menyediakan agunan tidak mampu mengakses pembiayaan, akibatnya yang mampu mengakses pembiyaan adalah orang yang punya agunan yaitu petani yang kaya, maka terjadiAdverse Reserve (debitur resiko tinggi masuk) yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, terjadi Incentif incompatibility (Insentif ke arah yang salah) dan berpeluang besar terjadi Moral Hazard (Digunakan untuk tujuan lain) sehingga kredit mengalami masalah di kemudian hari.
2.      Sejalan dengan penjelasan pertama, penetapan plafon Rp. 50 juta untuk pembiayaan mikro ternyata tidak mampu diakses oleh petani miskin, karena yang mampu mengakses adalah petani kaya dengan pembiayaan rata-rata Rp. 300 juta, sehingga terjadi terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, terjadi Incentif incompatibility. Sedangkan pengenaan bunga kredit yang 2% di bawah yang berlaku akan berpotensi terjadi aktifitas rent seeking, akibatnya akan terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian.
3.      Akibat terbatasnya pengetahuan dari sumber daya manusia di bank terhadap sektor pertanian, dan sebaliknya pengetahuan dan persepsi petani pada perbankan maka terbuka peluang masuknya aktifitas hubungan koneksi dangan pejabat yang berwenang dalam lembaga perkreditan maupun dengan lembaga pemerintah. Sehingga fenomene free rider (Tidak mau membayar pinjaman) dan rent seeking akan merajalela.

Pendekatan Biaya Transaksi

1.      Dengan mensyaratkan agunan material maka memperbesar terjadinyaNegotiation Costs dan Enforcement Costs (Biaya melaksanakan transaksi) bahkan memperbesar terjadinya non-marketted transaction cost.
2.      Plafon kredit mikro sampai dengan Rp. 50 juta untuk petani miskin tidak mendapat respon karena terjadi economics of scale dari kedua pihak yaitu bank dan petani miskin. Sedangkan karakteristik bunga pinjaman yang tidak fixed akan berpeluang meningkatkan Enforcement Costs dan Bribing officials (Menyuap petugas bank).
3.      Akibat terbatasnya pengetahuan dari sumber daya manusia di bank terhadap sektor pertanian, dan sebaliknya pengetahuan dan persepsi petani pada perbankan maka terbuka peluang meningkatnya transaction cost dan non-marketted transaction cost.

Pendekatan Grameen Bank (GB)

1.      GB tidak mengenakan agunan material diganti dengan kewajiban kelompok (tanggung renteng) berupa sanksi penundaaan kredit lanjutan.
2.      Plafon kredit minimal yang sangat rendah mudah di akses oleh calon debitur, apalagi tanpa jaminan material. Sedangkan pengenaan bunga kredit sesuai pasar mengurangi potensi terjadinya aktifitas rent seeking, akan mengurangi terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, peluang terjadi Moral Hazard semakin kecil, sehingga kredit tidak mengalami masalah di kemudian hari.
3.      Secara kultural, GB menanamkan disiplin kepada para peminjam melaluicode of conduct nya. Jumlah cabang dan “armada penjemputan” yang tersebar mengurangi timbulnya transaction cost bagi kedua belah pihak. Komitmen GB terhadap masyarakat termiskin dan perempuan sangat patut ditiru oleh lembaga perbankan di Indonesia.


6.     Opini
Industrialisasi menurut saya adalah transformasi struktural yang ada dalam suatu negara. Proses industrialisasi sendiri dapat didefenisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB (Nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perusahaan di suatu negara dalam kurun waktu setahun), ekspor dan kesempatan kerja. Berdasarkan beberapa kabar yang pernah saya lihat dan dengar, dapat   disimpulkan bahwa industrialisasi adalah suatu keharusan karena menjamin kelangsungan proses pembangunan ekonomi jangka panjang dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan yang menghasilkan pendapatan perkapita setiap tahun. Industrialisasi merupakan suatu proses interkasi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi. Mungkin sedikit bisa disimpulkan alasan mengapa industrialisasi mulai mengglobal dikarenakan industri saat ini banyak dijadikan pilihan utama dalam sektor pembangunan. Industri menjadi salah satu ujung tombak dalam pembangunan Negara – negara maju di dunia. Contohnya Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Negara – negara maju lainnya.

B.  Neraca Pembayaran Dan Tingkat Ketergantungan Pada Modal Asing

1.     Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran adalah catatan dari semua transaksi ekonomi internasional yang meliputi perdagangan, keuangan dan moneter antara penduduk dalam negeri dengan penduduk luar negeri selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun atau dikatakan sebagai laporan arus pembayaran (keluar dan masuk) untuk suatu negara. Neraca pembayaran secara esensial merupakan sistem akuntansi yang mengukur kinerja suatu negara. Pencatatan transaksi dilakukan dengan pembukuan berpasangan (double-entry bookkeeping system), yaitu; tiap transaksi dicatat satu sebagai kredit dan satu lagi sebagai debit.
Transaksi yang dicatat sebagai kredit adalah arus masuk valuta. arus masuk valuta adalah transaksi-transaksi yang mendatangkan valuta asing, yang merupakan suatu peningkatan daya beli eksternal atau sumber dana. Sedangkan transaksi yang dicatat sebagai debit adalah arus keluar valuta. Arus keluar valuta adalah transaksi-transaksi pengeluaran yang membutuhkan valuta asing, yang merupakan suatu penurunan daya beli eksternal atau penggunaan dana.
Tiap-tiap credit entry (bertanda positif) harus diseimbangkan (balanced) dengan debit entry (bertanda negatif) yang sama. Kedua entriestersebut dikombinasikan untuk menghasilkan laporan sumber-sumber dan penggunaan modal nasional (dari mana kita memperoleh dana-dana/ daya beli, dan bagaimana kita mengunakannya). Jadi, total kredit dan debit dari neracapembayaran suatu negara akan sama secara agregat; namun, dari komponen-komponen neraca pembayaran, mungkin terdapat surplus dan defisit.
Contoh : Suatu perusahaan RI meminjam Poundsterling Inggris. Jelas, pinjaman ini merupakan peningkatan hutang penduduk/perusahaan RI pada pihak luar negeri (Inggris). Pinjaman ini merupakan suatu credit entry pada neraca pembayaran. Debit entry yang sama akan diklasifikasikan sebagai suatu peningkatan dalam kepemilikan aset financial luar negeri, yaitu rekening bank debitor RI (yang didenominasi) dalam sterling merupakan suatu aset.
Memiliki aset dalam valuta asing sama seperti memberikan pinjaman jangka pendek kepada negara lain
PENGERTIAN NERACA PERDAGANGAN
Neraca perdagangan (balance of trade) adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara nilai moneter antara ekspor dan impor. Neraca perdagangan biasa disebut dengan ekspor netto. Neraca perdagangan yang positif berarti negara tersebut mengalami ekspor yang nilai moneternya melebihi impor, dan biasa disebut surplus perdagangan. Sementara itu jika neraca perdagangan menunjukkan kondisi negatif artinya nilai moneter impor melebihi ekspor, dan disebut sebagai defisit perdagangan.
Contoh :
Sepanjang Januari, total ekspor Indonesia mencapai US$ 15,49 miliar atau turun 9,28 persen dibanding bulan sebelumnya. Namun bila dibandingkan dengan Januari tahun lalu, nilai ekspor tersebut tumbuh 6,07 persen.
Ekspor bulan lalu masih didominasi oleh sektor bahan bakar mineral dan lemak hewan atau nabati. Sektor tersebut masing-masing menyumbang US$ 2.166 juta dan US$ 2.142 juta. Dari segi impor, mesin dan peralatan mekanik mencatat kenaikan signifikan menjadi US$ 2.320 juta dari US$ 1.724,3 juta Januari tahun lalu.
Manfaaf neraca pembayaran:
 Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil langkah di bidang ekonomi.Data yang ada dijadikan dasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan di bidang ekonomi.
 Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan di bidang moneter dan fiscal. Dari neraca pembayaran dapat dilihat berapa saldo devisa.
 Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengetahui pengaruh hubungan ekonomi internasional terhadap pendapatan nasional.
 Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan di bidang politik perdagangan internasional.
Neraca pembayaran terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut : neraca perdagangan, neraca jasa, neraca modal dan neraca moneter (lalulintas moneter).



Manfaaf neraca Perdagangan :
Adalah untuk mendapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dan impor suatu Negara. Beberapa faktor yang mempengaruhi ekspor dan impor adalah : kurs, pendapatan luar negeri, pendapatan dalam negeri, harga relatif dan pendapatan.

2.     Modal

Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya. Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari dalam perusahaan sendiri. Misalnya setoran dari pemilik perusahaan. Sementara itu, modal asing adalah modal yang bersumber dari luar perusahaan. Misalnya modal yang berupa pinjaman bank.
Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan modal abstrak. Modal konkret adalah modal yang dapat dilihat secara nyata dalam proses produksi. Misalnyamesingedungmobil, dan peralatan. Sedangkan yang dimaksud dengan modal abstrak adalah modal yang tidak memiliki bentuk nyata, tetapi mempunyai nilai bagi perusahaan. Misalnya hak paten, nama baik, dan hak merek.
Berdasarkan pemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu dan modal masyarakat. Modal individu adalah modal yang sumbernya dari perorangan dan hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya. Contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan atau bunga tabungan di bank. Sedangkan yang dimaksud dengan modal masyarakat adalah modal yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum dalam proses produksi. Contohnya adalah rumah sakit umum milik pemerintah, jalan, jembatan, atau pelabuhan.
Terakhir, modal dibagi berdasarkan sifatnya: modal tetap dan modal lancar. Modal tetap adalah jenis modal yang dapat digunakan secara berulang-ulang. Misalnya mesin-mesin dan bangunan pabrik. Sementara itu, yang dimaksud dengan modal lancar adalah modal yang habis digunakan dalam satu kali proses produksi. Misalnya, bahan-bahan baku.

3.     Utang Luar Negeri

A. Pengertian Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau pinjaman luar negeri, adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain, atau lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

B.     Penyebab Utang Luar Negeri
Hasrat berhutang dan debt trap
Berikut adalah beberapa fakta yang menguatkan jebakan hutang tersebut.
Pertama, Pada saat Indonesia meminta bantuan kepada IMF untuk menghadapi krisis pada 1997, lembaga tersebut memaksakan kehendaknya untuk mengintervensi semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dalam letter of intent (LoI) terdapat 1.243 tindakan yang harus dilaksanakan pemerintah Indonesia dalam berbagai bidang seperti perbankan, desentralisasi, lingkungan, fiskal, kebijakan moneter dan Bank Sentral, privatisasi BUMN serta jaring pengaman sosial.
Dengan kata lain, keuangan negara sengaja dibuat bangkrut terlebih dahulu, dan melalui ketergantungan dalam bidang keuangan ini, Indonesia telah sepenuhnya dikendalikan oleh negara pemberi hutang dan lembaga keuangan internasional.
Kedua, tudingan bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor bukanlah isapan jempol belaka.  Hal tersebut juga diakui oleh pemerintah AS. Selama kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Jadi sangat jelas bahwa negara-negara pendonor sangat berkepentingan untuk memberikan negara-negara berkembang untuk berhutang.  Departemen Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Hal tersebut tidak hanya terjadi pada pinjaman multilateral.  Pinjaman bilateral seperti dari Jepang pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat yang menyangkut penggunaan komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk pelaksanaan proyek harus berasal dari Jepang.
Melalui modus tersebut, Pemerintah Jepang selain bisa me-recycle ekses dana yang ada di dalam negerinya, juga sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana hutang ini. 
Dari pinjaman yang digelontorkan tersebut, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara debitor justru mensubbsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Ketiga,  hutang dianggap sebagai biang dari kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang khususnya negara kreditor. 
C.    Sejarah Utang Luar Negeri Indonesia
Utang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
Pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memulai kebiasaan berutang bagi pemerintahan di Indonesia. Seluruh utang yang belum dilunasinya pun turut diwariskan, sesuai dengan salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada waktu itu disertai dengan pengalihan tanggung jawab segala utang pemerintah kolonial. Dilihat dari perspektif utang piutang, maka Republik Indonesia bukanlah negara baru, melainkan pelanjut dari pemerintahan sebelumnya.
Tradisi pengalihan utang kepada pemerintahan berikutnya bertahan sampai saat ini, terlepas dari perpindahan kekuasaan itu berlangsung dengan cara apa pun. Pemerintahan era Soekarno mewariskan utang luar negeri (ULN) sekitar USD 2,1 miliar kepada pemerintahan Soeharto. Secara spektakuler, pemerintahan Soeharto membebani Habibie dengan warisan utang sebesar USD 60 miliar. Bahkan, pemerintahan Habibie mewariskan utang yang lebih besar, hanya dalam kurun waktu dua tahun. ULN memang “hanya” bertambah menjadi sebesar USD 75 miliar dolar. Namun, utang dalam negeri yang semula nihil menjadi USD 60 miliar (jika dikonversikan), sehingga utang pemerintah secara keseluruhan menjadi sekitar USD 135 miliar.
Tentu tidak adil jika hanya melihat angka utang yang fantastis di era Habibie secara begitu saja. Sebagian masalahnya adalah karena akumulasi utang beserta akibat lanjutan dari kebijakan pemerintahan Soeharto. Bisa dikatakan bahwa Pemerintahan Habibie harus menghadapi krisis moneter dan ekonomi, yang berasal dari era Soeharto.

Utang Pemerintah Orde Lama
Sesuai dengan perjanjian ketika penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia, pemerintahan Soekarno menerima pula warisan utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 4 miliar dolar Amerika. Utang tersebut memang tidak pernah dibayar oleh Pemerintahan Soekarno, namun juga tidak dinyatakan di¬hapuskan. Utang ini nantinya diwariskan kepada era-era pe¬merintahan berikutnya, dan akhirnya dilunasi juga.
Pada awal kemerdekaan, sikap pemerintah Soekarno-Hatta ter¬hadap utang luar negeri bisa dikatakan mendua. Di satu sisi, mereka menyadari bahwa utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan sangat dibutuhkan. Negara baru yang baru merdeka ini memerlukan dana untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat, yang sudah sedemikian terpuruk karena kolonialisme. Ketiadaan infrastruktur, dan rusaknya sebagian besar kapasitas produksi seperti ladang minyak, membuat penerimaan negara dari sumber domestik belum bisa diandalkan. Hibah dari negara-negara yang bersimpatik ketika awal kemerdekaan tentu saja tidak memadai dan lambat laun di¬hentikan. Pilihan yang tersedia adalah mempersilakan modal asing masuk ke Indonesia untuk berinvestasi, serta melakukan pinjaman luar negeri.
Di sisi lain, pemerintah Soekarno-Hatta bersikap waspada ter¬hadap kemungkinan penggunaan utang luar negeri sebagai sarana kembalinya kolonialisme. Semangat kemerdekaan masih amat kental, sehingga mereka peka dalam masalah yang berkaitan dengan kedaulatan Indonesia. Suasana ini juga mewarnai dinamika parlemen, sekalipun terdiri dari banyak partai dengan latar idelogis berbeda.
 Akibatnya, persyaratan yang ketat ditetapkan dalam setiap perundingan berutang kepada pihak luar negeri. Ini berlaku juga ter¬hadap masalah penanaman modal asing, termasuk perundingan mengenai tambang dan kilang minyak di wilayah Indonesia.
Sebagai contoh, Hatta dalam berbagai kesempatan me¬ngemukakan antara lain: negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri, suku bunga tidak boleh lebih dari 3-3,5 persen per tahun, dan jangka waktu utang yang lama. Jadi, selain melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang.
Terkenal pula pernyataan sarkastis Soekarno, yang mengatakan ”go to hell with your aid” kepada AS karna berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Bagaimanapun, transaksi utang luar negeri tetap terjadi pada awal kemerdekaan. Sampai dengan tahun 1950, utang pemerintah yang baru tercatat sebesar USD 3,8 miliar, selain utang warisan pemerintah kolonial. Setelah itu, terjadi fluktuasi jumlah utang pemerintah, seiring dengan sikap pemerintah yang cukup sering berubah terhadap pihak asing dalam soal modal dan utang. Selama kurun tahun 50-an tetap saja ada bantuan dan utang yang masuk ke Indonesia. Sikap pemerintah yang berubah-ubah itu dikarenakan kerapnya pergantian kabinet, disamping faktor Soekarno sebagai pribadi.
Sebagai contoh, pada tahun 1962, delegasi IMF berkunjung ke Indonesia untuk menawarkan proposal bantuan finansial dan kerjasama, dan pada tahun 1963 utang sebesar USD17 juta diberikan oleh Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia pun kemudian bersedia melaksanakan beberapa kebijakan ekonomi baru yang bersesuaian dengan proposal IMF. Namun, keadaan berbalik pada akhir tahun itu juga, ketika Malaysia pemerintah Inggris menyatakan Malaysia di¬nyatakan sebagai bagian federasi Inggris tanpa pembicaraan dengan Soekarno. Hal ini sebetulnya juga berkaitan dengan nasionalisasi beberapa perusahaan Inggris di Indonesia. Yang jelas, hubungan Indonesia dengan IMF dan Amerika, turut memburuk. Berbagai kesepakatan sebelumnya dibatalkan oleh Soekarno, dan Indonesia keluar dari keanggotaan IMF dan PBB.
Secara teknis ekonomi, telah ada pelunasan utang dari sebagian hasil ekspor komoditi primer Indonesia. Ada pula penghapusan se¬bagian utang oleh kreditur, terutama dari negara-negara yang ber¬sahabat, setidaknya dalam tahun-tahun tertentu. Akhirnya, ketika terjadi perpindahan kekuasaan kepada Soeharto, tercatat utang luar negeri pemerintah adalah sebesar USD 2,1 miliar. Jumlah ini belum termasuk utang warisan pemerintah kolonial Belanda yang sekalipun resmi diakui, tidak pernah dibayar oleh pemerintahan Soekarno.
Perkembangan Utang Pemerintah Era Soeharto
Sejak awal, sikap pemerintahan Soeharto terhadap modal asing berbeda dengan sikap Soekarno-Hatta. Sebagai contoh, undang¬undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah UU no.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang isinya bersifat terbuka dan bersahabat bagi masuknya modal dari negara manapun. Beberapa bulan sebelumnya, IMF membuat studi tentang program stabilitas ekonomi, yang rekomendasinya segera diikuti oleh pemerintah. Indonesia juga telah secara resmi kembali menjadi anggota IMF.
Seiring dengan itu, perundingan serius mengenai utang luar negeri Indonesia berlangsung lancar. Kembalinya Indonesia menjadi anggota IMF dan Bank Dunia, seketika diimbali oleh negara-negara barat berupa: pemberian hibah, restrukturisasi utang lama, komitmen utang baru dan pencairan utang baru yang cepat. Hibah sebesar USD 174 juta dikatakan bertujuan untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Restrukturisasi utang yang disetuji bernilai sekitar USD 534 juta. Lewat berbagai perundingan, terutama pertemuan Paris Club, disepakati moratorium utang sampai dengan tahun 1971 untuk pembayaran cicilan pokok sebagian besar utang. Akhirnya, sejak tahun 1967 Indonesia mendapat persetujuan utang baru dari banyak kreditur, dan sebagiannya langsung dicairkan pada tahun itu juga.
ULN dengan Persyaratan Lunak
Pada mulanya, semua utang baru itu bisa dikatakan sebagai pinjaman dengan syarat lunak. Ada jenis pinjaman yang biasa disebut bantuan program, yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantu¬an pangan. Bantuan program ini berbentuk devisa tunai atau hak untuk memperoleh sejumlah komoditi yang ditentukan. Ada bantu¬an proyek, yang pada dasarnya adalah utang bagi pembagunan proyek tertentu dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak. Bahkan, ada dana berbentuk sumbangan (grant) atau hibah yang berfungsi sebagai ”dana pendamping” dari utangnya.
Para kreditur yang memberi utang kepada Indonesia awalnya hanya terdiri dari negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan iternasional. Para kreditur tersebut mengkoordinasikan diri ke dalam Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Beberapa tahun kemudian, kreditur swasta turut terlibat. Sebagian kreditur swasta yang besar kadang diundang dalam forum-forum IGGI.
IGGI didirikan pada tahun 1967 di Den Haag, yang anggotanya terdiri dari: Australia, Amerika Serikat, Belgia, Belanda, Italia, Jerman, Jepang, Inggris, Perancis, dan Kanada. Ada negara-negara yang hadir sebagai peninjau, seperti: Austria, Denmark, Norwegia, Selandia Baru, dan Swiss. Sedangkan lembaga-lembaga keuangan multilateral yang menjadi anggota forum adalah: IMF, IBRD, ADB, UNDP, dengan OECD sebagai peninjau. Pada tanggal 25 Maret 1992, dipicu oleh suatu insiden politik, IGGI dibubarkan dan kepemimpinan Belanda tidak diakui lagi oleh Indonesia. Namun, fungsi IGGI tetap berlangsung melalui wadah baru bernama Consultative Group for Indonesia (CGI), dengan pimpinan Bank Dunia. Selama perkembangannya, ada beberapa lembaga internasional, termasuk bentukan Bank Dunia, yang kemudian bergabung, seperti IDA, IFAD (International Fund for Agricultural Development) dan IFC (International Finance Corporation). Terjadi pula beberapa pergeseran besaran kontribusi masing-masing negara.
Resminya, IGGI/CGI hanyalah suatu forum pembicaraan me¬ngenai ULN pemerintah Indonesia. Namun, pada praktiknya IGGI/CGI menyerupai konsorsium. Sebagian besar ULN pemerintah pada era pemerintahan Soeharto dibicarakan dan disepakati dalam forum IGGI/CGI. Setiap tahun, forum ini memutuskan jumlah dan macam pinjaman yang akan diberikan, setelah mempertimbangkan “usulan” dari pemerintah Indonesia. Dalam artian tertentu, IGGI/CGI memang bukan konsorsium, karena masing-masing kreditur me¬miliki kesepakatan tersendiri tentang detilnya, dan tidak seluruh hasil forum bersifat mengikat kepada mereka.
Pada saat pemerintahan Soeharto mulai menerima ULN dan satu dekade setelahnya, perkembangan wacana keuangan internasional memang sedang kondusif. Selain yang dinyatakan sebagai dimensi kemanusiaan atau charity, serta keterkaitan dengan masalah pe-rebutan pengaruh politik Blok Barat dan Blok Komunis, konsep dan praktik keuangan internasional memang tengah marak me¬ngembangkan berbagai bentuk ULN. Ada dua pemicu utama dari sisi wacana keuangan dan perekonomian. Pertama, upaya banyak negara maju untuk merestukturisasi sekaligus mengembangkan industri pengolahannya, yang berlangsung mulai era 1960-an. Ada pertimbangan suplai sumber energi, bahan baku, pemindahan se¬bagian tahap produksi, sampai kepada penetrasi pasar.
Kedua, mulai ada kelebihan likuiditas pada lembaga keuangan internasional, yang kemudian mendapat momentum lanjutan dari petro dollar akibat kenaikan harga minyak sejak awal 70-an. Selain disimpan pada bank dan lembaga keuangan komersial, dana petro dollar dari negara-negara produsen minyak ini juga bisa diakses oleh IMF.
Perkembangan wacana dan kondisi keuangan internasional itu kemudian antara lain menghasilkan ULN yang diterima pemerintah negara-negara sedang berkembang (NSB), termasuk Indonesia. Secara umum, jenisnya terdiri dari: dana pembangunan resmi (official development fund/ODF), kredit ekspor (export credit) dan pinjaman swasta (private flows). ODF adalah pinjaman resmi bersyarat lunak dari suatu negara donor melalui lembaga keuangan bilateral negara yang bersangkutan dan atau melalui lembaga dan bank pembangunan multilateral seperti: Bank Dunia, ADB, IDA, dan sebagainya. ODF dapat berupa pinjaman bersyarat sangat lunak (Official development assistance/ODA) atau pinjaman setengah lunak (less concessional loan/LCL).
Kredit ekspor adalah pinjaman setengah resmi dengan per¬syaratan setengah lunak yang dananya berasal dari negara donor (disebut official financial support) atau yang bersumber dari pihak perbankan dan lembaga keuangan swasta yang dijamin dan disubsidi oleh pemerintah negara donor. Penggunaan kredit ekspor itu kadang-kadang terbatas hanya untuk pengadaan barang dan jasa di negara donor (tied), dan kadang tidak mengikat, atau kombinasi antara keduanya. Kredit ekspor disebut “suppliers credit” kalau pinjaman itu disalurkan melalui pemasok di negara donor. Pinjaman ini dinamakan “buyers credit” jika diberikan langsung oleh lembaga kredit ekspor kepada peminjam di negara penerima.
Secara teknis, dikenal pembedaan jenis ULN dengan sebutan Pinjaman program dan Pinjaman proyek dalam pencatatan APBN saat ini. Pada masa sebelumnya, ULN dicatat dalam APBN setiap tahunnya sebagai bantuan program dan bantuan proyek. Pada tahun¬tahun tertentu, ada yang dicatat sebagai pinjaman setengah lunak/komersial dan pinjaman tunai. Jenis yang masuk kategori dalam pinjaman swasta ini hanya pada periode tertentu memiliki arus masuk yang besar.
Sebenarnya, pembedaan antara pinjaman program dan pinjaman proyek bersifat sumir atau tidak cukup tegas. Pada dasarnya, kedua jenis itu terdiri dari ODA, LCL dan Kredit ekspor dalam pengertian yang disinggung di atas. Meskipun demikian, ULN yang disebut pinjaman program, pada umumnya bersifat lebih lunak dan mem¬bantu. Pembedaan ini memang cukup jelas pada masa awal pe¬merintahan Soeharto.
Pinjaman program pada awal Orde baru terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan. Pinjaman program diorientasikan untuk menyelesaikan masalah jangka pendek dan mendesak, serta bersifat sangat lunak. Pada masa berikutnya, tingkat kelunakan men¬jadi kurang jelas. Sifat pinjaman program yang membantu mengatasi masalah ekonomi dan keuangan pemerintah yang mendesak tetap dipertahankan. Sifat utamanya adalah memberikan aliran devisa atau kas masuk secara langsung bagi pemerintah.
Akan tetapi, dalam beberapa tahun tersebut, pinjaman program terkait dengan perubahan kebijakan dalam bentuk undang-undang dan peraturan lainnya. Pencairan utang program selalu dikaitkan dengan capaian dalam perubahan kebijakan yang berhasil dilakukan pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pinjaman proyek terutama adalah utang yang diterima dalam bentuk fasilitas ber¬belanja barang dan jasa kepada negara/lembaga kreditur dalam bentuk kredit. Bedanya dengan pinjaman program, pinjaman proyek lebih ditujukan untuk proyek investasi jangka panjang
Sebagaimana telah disinggung di atas, sejak tahun 1967 Indonesia telah menerima pinjaman dengan syarat lunak atau dalam bentuk sumbangan (grant) dari negara-negara dan lembaga-lembaga ke¬uangan iternasional yang tergabung dalam IGGI. Dalam beberapa tahun sejak itu, Indonesia mendapat pinjaman berbentuk bantuan program yang terdiri dari bantuan devisa kredit dan bantuan pangan, serta bantuan proyek dengan syarat-syarat pelunasan yang lunak.
Utang Pemerintahan Transisi (Habibie)
a)         Tanggal 14 dan 15 Mei 1997, kurs bath terhadap US$ mengalami penurunan (depresiasi) sebagai akibat dari keputusan jual dari para investor yang tidak percaya lagi thd prospek ekonomi Thailand dalam jk pdk.
Pemerintah Thailand mengintervensi dan didukung oleh bank sentral singapora, tapi tidak mampu menstabilkan kurs Bath, sehingga bank sentral Thailand mengumumkan kurs bath diserahkan pada mekanisme pasar.
2 Juli 1997, penurunan nilai kurs bath terhadap US$ antara 15% - 20%
b)         Bulan Juli 1997, krisis melanda Indonesia (kurs dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.650.) BI mengintervensi, namun tidak mampu sampai bulan maret 1998 kurs melemah sampai Rp 10.550 dan bahkan menembus angka Rp 11.000/US$.
Langkah konkrit untuk mengatasi krisis:
a)         Penundaan proyek Rp 39 trilyun untuk mengimbangi keterbatasan anggaran Negara
b)         BI melakukan intervensi ke bursa valas
c)         Meminta bantuan IMF dengan memperoleh paket bantuan keuangan US$ 23 Milyar pada bulan Nopember 1997.
d)        Mencabut ijin usaha 16 bank swasta yang tidak sehat
Januari 1998 pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepakatan (LOI) dengan IMF yang mencakup 50 butir kebijakan yang mencakup:
a)         Kebijakan ekonomi makro (fiscal dan moneter) mencakup: penggunaan prinsip anggaran berimbang; pengurangan pengeluaran pemerintah seperti pengurangan subsidi BBM dan listrik; pembatalan proyek besar; dan peningkatan pendapatan pemerintah dengan mencabut semua fasilitas perpajakan, penangguhan PPN, pengenaan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak obyek pajak.
b)         Restrukturisasi sektor keuangan
c)         Reformasi struktural
Bantuan gagal diberikan, karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan kesepakatan dengan IMF yang telah ditandatangani.
Indonesia tidak mempunyai pilihan kecuali harus bekerja sama dengan IMF. Kesepakatan baru dicapai bulan April 1998 dengan nama “Memorandum Tambahan mengenai Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan” yang merupakan kelanjutan, pelengkapan dan modifikasi 50 butir kesepakatan.  Tambahan dalam kesepakatan baru ini mencakup:
a)         Program stabilisasi perbankan untuk stabilisasi pasar uang dan mencegah hiperinflasi
b)         Restrukturisasi perbankan untuk penyehatan system perbankan nasional
c)         Reformasi structural
d)        Penyelesaian utang luar negeri dari pihak swasta
e)         Bantuan untuk masyarakat ekonomi lemah.

Utang Pemerintahan Reformasi (Abdurrahman Wahid)
Mulai pertengahan tahun 1999.
Target:
a)         Memulihkan perekonomian nasional sesuai dengan harapan masyarakat dan investor
b)         Menuntaskan masalah KKN
c)         Menegakkan supremasi hukum
d)        Penegakkan hak asasi manusia
e)         Pengurangan peranan ABRI dalam politik
f)          Memperkuat NKRI (Penyelesaian disintegrasi bangsa)
Kondisi:
a)         Pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi positif (mendekati 0)
b)         Tahun 2000 pertumbuhan ekonomi 5%
c)         Kondisi moneter stabil ( inflasi dan suku bunga rendah)
d)        Tahun 2001, pelaku bisnis dan masyarakat kurang percaya kepada pemerintahan sebagai akibat dari pernyataan presiden yang controversial, KKN, dictator, dan perseteruan dengan DPR
e)         Bulan maret 2000, cadangan devisa menurun dari US$ 29 milyar menjadi US$ 28,875 milyar
f)          Hubungan dengan IMF menjadi tidak baik sebagai akibat dari: penundaan pelaksanaan amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia; penerapan otonomi daerah (terutama kebebasan untuk hutang pemerintah daerah dari LN); dan revisi APBN 2001.
g)         Tahun 2001, pertumbuhan ekonomi cenderung negative, IHSG merosot lebih dari 300 poin, dan nilai tukar rupiah melemah dari Rp 7000 menjadi Rp 10.000 per US$.

Utang Pada Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
a.       Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.
b.      Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Utang Pada Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
Kebijakan kontroversial pertama presiden Yudhoyono adalah mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan yang ditempuh untuk faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salahsatunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negri masih kurang kondusif.

D.     Daftar Negara/Lembaga Kreditor (Pemberi Utang Luar Negeri) terbesar Indonesia
1. Jepang                                             : 45,5% atau 29.8 miliar USD* atau Rp 358 triliun
2. ADB (Asian Development Bank)   : 16,4% atau 10.8 miliar USD atau Rp 129 triliun
3. World Bank (Bank Dunia)              : 13.6% atau 8.9 miliar USD atau Rp 107 triliun
4. Jerman                                             : 4.7% atau 3.1 miliar USD atau Rp 37 triliun
5. Amerika Serikat                              : 3.7% atau 2.3 miliar USD atau Rp 28 triliun
6. Inggris                                             : 1.7% atau 1.1 miliar USD atau Rp 13 triliun
7. Negara/lembaga lain                        : 14.6% atau 9.6 miliar USD atau Rp 115 triliun


E.     Data Utang Luar Negeri Indonesia (2001-2009** )
* 2001 : 58,791 miliar USD
Tambahan Utang (5,51 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,24 miliar USD)
* 2002 : 63,763 miliar USD
Tambahan Utang (5,65 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4,57 miliar USD)
* 2003 : 68,914 miliar USD
Tambahan Utang (5,22 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (4.96 miliar USD)
* 2004 : 68,575 miliar USD
Tambahan Utang (2,60 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,22 miliar USD)
* 2005 : 63,094 miliar USD
Tambahan Utang (5,54 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,63 miliar USD)
* 2006 : 62,02 miliar USD
Tambahan Utang (3,66 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,79 miliar USD)
* 2007 : 62,25 miliar USD
Tambahan Utang (4.01 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (6,32 miliar USD)
* 2008 : 65,446 miliar USD
Tambahan Utang (3,89 miliar USD), Cicilan Utang + Bunga (5,87 miliar USD)
* 2009*: 65,7 miliar USD
Tambahan Utang (????), cicilan utang + bunga (>5 miliar USD)
* 1 USD = Rp 12.000 (asumsi rata-rata) -
** Data Utang Indonesia per 31 Januari 2009. www.dmo.or.id atau Perkembangan Utang Pemerintah 2001-2009.

4.Opini
Neraca pembayaran suatu negara adalah catatan yang sistematis tentang transaksi ekonomi internasional antara penduduk negara itu dengan penduduk negara lain dalam jangka waktu tertentu. Atau NPI adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh aktivitas ekonomi yang meliputi perdagangan barang/jasa, transfer keuangan dan moneter antara penduduk (resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the world) untuk suatu periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Transaksi ekonomi tersebut diklasifikasikan ke dalam transaksi berjalan, transaksi modal, dan lalu lintas moneter. Transaksi berjalan terdiri atas ekspor ataupun impor barang dan jasa, sedangkan transaksi modal terdiri atas arus modal sektor pemerintah ataupun swasta, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu lintas moneter adalah perubahan dalam cadangan devisa. Dengan demikian, neraca pembayaran memberikan gambaran arus penerimaan dan pengeluaran devisa serta perubahan neto cadangan devisa.










Daftar Pustaka


http://iskandarzulkarnainm.blogspot.com/2011/04/neraca-pembayaran-dan-tingkat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar